Pemberian Merga/Beru
Masyarakat
Karo mengenal acara pemberian clan, atau Merga
untuk laki-laki dan Beru untuk
perempuan menurut adat istiadat. Pemberian Merga/Beru ini dilakukan bagi arang
orang yang berasal dari luar Suku Karo.
Dan apaila seseorang telah menerima Merga/Beru menurut adat istiadat Karo, maka
orang tersebut sudah dianggap sebagai orang Karo.
Adapun
penyebab pemberian Merga/Beru itu macam-macam. Misalkan sebagai tanda
penghormatan atau penghargaan kepada seorang pejabat yang datang ke satu daerah
dimana mayoritas penduduknya adalah orang Karo. Adapula karena diprakarsai oleh
seseorang tokoh agama se-kepercayaan, yang dinilainya pantas untuk diberikan
clan Karo kepada orang yang bersangkutan. Dan ada juga karena orang luar baik
laki-laki atau perempuan karena mengikat tali perkawinan dengan orang Karo.
Sebelum
pemberian Merga/Beru, Para tokoh masyarakat dan adat terlebih dahulu
bermusyawarah tentang gagasan pemberian tadi. Dalam musyawarah akan ditinjau
dari berbagai segi, pantas atau tidak diberi serta akibatnya, dan seterusnya.
Biasanya,
kalau orang luar datang ke suatu kampung, maka Merga bangsa tanah (pendiri
kampung) di kampung itu yang berhak memberikan Merga/Beru. Kalau seorang
laki-laki yang beristri memperoleh Merga, maka istinya juga akan memperoleh
Beru. Adapun Merga yang diberikan adalah sama dengan bangsa tanah di kampung
tersebut. Sementara Beru yang diberikan adalah sama ddengan Beru dari istri
bangsa tanah.
Seperti
dekatakan sebelumnya, karena pemberian Merga Atau Beru kepada orang luar itu
membawa akibat, dahulu bagi yang menerima Merga/Beru biasanya diberikan sebidang tanah oleh si
pemberi Merga sebagai tempat untuk mendirikan rumah dan juga mata pencaharian.
Maka pemberian Merga/Beru dirundingkan secara mendalam oleh kelompok Merga yang
punya acara. Karena itu, dahulu tidaklah begitu gampang melakukan upacara pemberian Merga atau Beru
kepada seseorang menurut adat. Namun zaman terus berputar ke arah yang lebih
modern serta pemikiran yang lebih praktis malah menjadi pragmatis. Sehingga
tidak mengherankan setelah tahun 60-an, pemberian Merga atau Beru kepada orang
luar semakin sering dilakukan, terutama yang diprakarsai oleh pejabat
pemerintah separti Bupati. Pemberian Merga/Beru, walaupun upacaranya mengarah
ke upacara adat nmun lebih bersifat ceremonial. Kepada yang menerima tidak
diberikan sebidang tanah atau sawah sebaga tempat bercocok tanam dan tidak
dijelaskan apa yang menjadi hak serta tanggung jawab si penerima Merga/Beru
dalam sistem peradatan dan susunan masyarakat.
Karena
acara pemberian Merga/Beru hanya bersifat ceremonial, walaupun dilakukan
upacara adat, pada hakikatnya pemberian Merga/Beru seperti yang dimaksudkan
oleh para leluhur tidak lagi dilaksanakan, namun telah disesuaikan dengan
kondisi dan situasi perkembangan zaman.
Seingat
kita, pembesar Negara yang mendapat Merga di TanahKaro setelah tahun 1960
antara lain: Menteri Dalam Negeri Otonomi Daerah, Ipik Gandamana diberi Merga
Karo-Karo Sitepu; Pangdam III Bukit Barisan, Brigjen Sukotjo diberi Merga Ginting;
Pangkowilhan I Sumatera-Kalimantan Barat, Letjen G. H. Mantik diberi Merga
Ginting Manik; Mayjen Achmad mendapatkan Merga Karo-Karo Sitepu (diberikan
kelompok masyarakat Karo-Karo Sitepu di Jakarta); Menteri Sekretaris Negara
Letjen Sudharmono, SH diberikan Merga Karo-Karo.
Adapula
pemberian Merga diprakarsai oleh pimpinan agama Katholik seperti diberikan
kepada Leo, SH Ginting. Demikian pula pada tahun 1988 oleh Yayasan Adat Karo
Sumatera Utara dengan ketua umumnya Nalinta Ginting menabalkan dua orang asing
berkebangsaan Italia dengan Merga Ginting di Deli Tua.
Pada
tahun-tahun terakhir ini, dimana sebagai akibat pergaulan antara pemuda-pemudi
Karo semakin luas jangkauannya, maka banyak terjadi perkawinan antar Suku.
Apakah puteri orang Karo ataupun si pemuda yang orang Karo kawin dengan orang
luar Karo. Hal itu tentu baik dalam rangka menggalang rasa persatuan antar suku
di Indonesia. Merga yang diberikan kepada orang luar suku Karo menurut adat,
karena perkawinannya dengan seorang puteri Karo adalah Merga yang
seharusnya/sepatutnya mengawini puteri tadi, menurut pola kekerabatan dan
peradatan adalah iparnya begitu juga sebaliknya.
Serayan
Serayan
dalam masyarakat Karo merupakan satu wadah persatuan muda-mudi pada setiap desa,
dimanifestasikan dengan kegotong-royongan dalam kegiatan masyarakat Karo.
Memang sudah kebiasaan bagi muda-mudi suku Karo untuk berpartisipasi dan merasa
terpanggil membantu pelaksanaan suatu pekerjaan , misalnya menarik kayu dari
hutan untuk mendirikan Rumah Adat (zaman dulu). Mengirik padi di sawah/ladang
sekaligus membawa ke rumah, aktif dalam mensukseskan suatu upacara adat dan
lain sebagainya.
Dengan
kata lain, mereka yang tergabung dalam Serayan ikut bertanggung jawab dalam
mensukseskan suatu pesta adat di masyarakat Karo. Mereka membantu secara aktif
(sebagai Anak Beru) selama berlangsungnya pesta atau upacara menurut adat atau pekerjaan
lain di suatu kampung.
Hak-hak Serayan
Walaupun
tidak ada upah serayan kepada mereka yang memberikan tenaga secara bergotong
royong dalam suatu upacara menurut adat atau pekerjaan lain, namun sudah
menjadi kelaziman bagi pihak yang punya acara memberikan sebagian daging yang
dipotong kepada Serayan sebagai lauk pauk. Daging mentah tersebut mereka
sendiri yang memasaksa di sebuah rumah atau halaman menurut apa yang mereka
kehendaki, dimana mereka akan makan bersama-sama. Demikian juga apabila ada acara
membuat cimpa (kue khas Karo), maka
Serayan juga akan memperoleh bagian sebagai ungkapan terima kasih dari pemilik
acara.
Dalam
acara adat, baik itu yang bersifat kegembiraan atau kemalangan yang diirindi
oleh gendang adat, maka Serayan juga
memperoleh kesempatan menari setelah acara adat selesai. Bahkan ada juga yang
memberikan hadiah kepada Serayan berupa acara menari selama satu malam. Dalam
menari muda-mudi secara berpasangan (pasangan tidak tabu menurut adat) silih
berganti menari dengan diiringi lagu yang dipesan. Bagi muda-mudi, gendang
Serayan (selain dalam pesta Guro-Guro
Aron) merupakan momen untuk menunjukkan kebolehannya dalah hal berbusana,
menari, atau menjalin hubungan dengan lawan jenisnya.
Jadi
Serayan merupakan tempat belajar bagi muda-mudi untuk mengenal tugas, tanggung
jawab, kebersamaan bergotong royong dalam suatu kegiatan peradatan masyarakat
Karo. Serayan sebagai salah satu warisan leluhur sampai saat ini masih
dilaksanakan kaum muda-mudi Karo dan dijadikan sebagai sarana praktikum
ditengah masyarakat disamping mereka mengikuti pelajaran di sekolah formal.
Sumber:
Simaka Edisi VI Juni-Juli 2008