Thursday, July 9, 2015

Pemberian Merga/Beru dan Serayan Pada Masyarakat Karo



Pemberian Merga/Beru
 
Masyarakat Karo mengenal acara pemberian clan, atau Merga untuk laki-laki dan Beru untuk perempuan menurut adat istiadat. Pemberian Merga/Beru ini dilakukan bagi arang orang yang berasal dari luar Suku Karo. Dan apaila seseorang telah menerima Merga/Beru menurut adat istiadat Karo, maka orang tersebut sudah dianggap sebagai orang Karo.


Adapun penyebab pemberian Merga/Beru itu macam-macam. Misalkan sebagai tanda penghormatan atau penghargaan kepada seorang pejabat yang datang ke satu daerah dimana mayoritas penduduknya adalah orang Karo. Adapula karena diprakarsai oleh seseorang tokoh agama se-kepercayaan, yang dinilainya pantas untuk diberikan clan Karo kepada orang yang bersangkutan. Dan ada juga karena orang luar baik laki-laki atau perempuan karena mengikat tali perkawinan dengan orang Karo.

Sebelum pemberian Merga/Beru, Para tokoh masyarakat dan adat terlebih dahulu bermusyawarah tentang gagasan pemberian tadi. Dalam musyawarah akan ditinjau dari berbagai segi, pantas atau tidak diberi serta akibatnya, dan seterusnya.

Biasanya, kalau orang luar datang ke suatu kampung, maka Merga bangsa tanah (pendiri kampung) di kampung itu yang berhak memberikan Merga/Beru. Kalau seorang laki-laki yang beristri memperoleh Merga, maka istinya juga akan memperoleh Beru. Adapun Merga yang diberikan adalah sama dengan bangsa tanah di kampung tersebut. Sementara Beru yang diberikan adalah sama ddengan Beru dari istri bangsa tanah.

Seperti dekatakan sebelumnya, karena pemberian Merga Atau Beru kepada orang luar itu membawa akibat, dahulu bagi yang menerima Merga/Beru  biasanya diberikan sebidang tanah oleh si pemberi Merga sebagai tempat untuk mendirikan rumah dan juga mata pencaharian. Maka pemberian Merga/Beru dirundingkan secara mendalam oleh kelompok Merga yang punya acara. Karena itu, dahulu tidaklah begitu gampang  melakukan upacara pemberian Merga atau Beru kepada seseorang menurut adat. Namun zaman terus berputar ke arah yang lebih modern serta pemikiran yang lebih praktis malah menjadi pragmatis. Sehingga tidak mengherankan setelah tahun 60-an, pemberian Merga atau Beru kepada orang luar semakin sering dilakukan, terutama yang diprakarsai oleh pejabat pemerintah separti Bupati. Pemberian Merga/Beru, walaupun upacaranya mengarah ke upacara adat nmun lebih bersifat ceremonial. Kepada yang menerima tidak diberikan sebidang tanah atau sawah sebaga tempat bercocok tanam dan tidak dijelaskan apa yang menjadi hak serta tanggung jawab si penerima Merga/Beru dalam sistem peradatan dan susunan masyarakat.

Karena acara pemberian Merga/Beru hanya bersifat ceremonial, walaupun dilakukan upacara adat, pada hakikatnya pemberian Merga/Beru seperti yang dimaksudkan oleh para leluhur tidak lagi dilaksanakan, namun telah disesuaikan dengan kondisi dan situasi perkembangan zaman.

Seingat kita, pembesar Negara yang mendapat Merga di TanahKaro setelah tahun 1960 antara lain: Menteri Dalam Negeri Otonomi Daerah, Ipik Gandamana diberi Merga Karo-Karo Sitepu; Pangdam III Bukit Barisan, Brigjen Sukotjo diberi Merga Ginting; Pangkowilhan I Sumatera-Kalimantan Barat, Letjen G. H. Mantik diberi Merga Ginting Manik; Mayjen Achmad mendapatkan Merga Karo-Karo Sitepu (diberikan kelompok masyarakat Karo-Karo Sitepu di Jakarta); Menteri Sekretaris Negara Letjen Sudharmono, SH diberikan Merga Karo-Karo.

Adapula pemberian Merga diprakarsai oleh pimpinan agama Katholik seperti diberikan kepada Leo, SH Ginting. Demikian pula pada tahun 1988 oleh Yayasan Adat Karo Sumatera Utara dengan ketua umumnya Nalinta Ginting menabalkan dua orang asing berkebangsaan Italia dengan Merga Ginting di Deli Tua.

Pada tahun-tahun terakhir ini, dimana sebagai akibat pergaulan antara pemuda-pemudi Karo semakin luas jangkauannya, maka banyak terjadi perkawinan antar Suku. Apakah puteri orang Karo ataupun si pemuda yang orang Karo kawin dengan orang luar Karo. Hal itu tentu baik dalam rangka menggalang rasa persatuan antar suku di Indonesia. Merga yang diberikan kepada orang luar suku Karo menurut adat, karena perkawinannya dengan seorang puteri Karo adalah Merga yang seharusnya/sepatutnya mengawini puteri tadi, menurut pola kekerabatan dan peradatan adalah iparnya begitu juga sebaliknya.

Serayan

Serayan dalam masyarakat Karo merupakan satu wadah persatuan muda-mudi pada setiap desa, dimanifestasikan dengan kegotong-royongan dalam kegiatan masyarakat Karo. Memang sudah kebiasaan bagi muda-mudi suku Karo untuk berpartisipasi dan merasa terpanggil membantu pelaksanaan suatu pekerjaan , misalnya menarik kayu dari hutan untuk mendirikan Rumah Adat (zaman dulu). Mengirik padi di sawah/ladang sekaligus membawa ke rumah, aktif dalam mensukseskan suatu upacara adat dan lain sebagainya.

Dengan kata lain, mereka yang tergabung dalam Serayan ikut bertanggung jawab dalam mensukseskan suatu pesta adat di masyarakat Karo. Mereka membantu secara aktif (sebagai Anak Beru) selama berlangsungnya pesta atau upacara menurut adat atau pekerjaan lain di suatu kampung.

Hak-hak Serayan

Walaupun tidak ada upah serayan kepada mereka yang memberikan tenaga secara bergotong royong dalam suatu upacara menurut adat atau pekerjaan lain, namun sudah menjadi kelaziman bagi pihak yang punya acara memberikan sebagian daging yang dipotong kepada Serayan sebagai lauk pauk. Daging mentah tersebut mereka sendiri yang memasaksa di sebuah rumah atau halaman menurut apa yang mereka kehendaki, dimana mereka akan makan bersama-sama. Demikian juga apabila ada acara membuat cimpa (kue khas Karo), maka Serayan juga akan memperoleh bagian sebagai ungkapan terima kasih dari pemilik acara.

Dalam acara adat, baik itu yang bersifat kegembiraan atau kemalangan yang diirindi oleh gendang adat, maka Serayan juga memperoleh kesempatan menari setelah acara adat selesai. Bahkan ada juga yang memberikan hadiah kepada Serayan berupa acara menari selama satu malam. Dalam menari muda-mudi secara berpasangan (pasangan tidak tabu menurut adat) silih berganti menari dengan diiringi lagu yang dipesan. Bagi muda-mudi, gendang Serayan (selain dalam pesta Guro-Guro Aron) merupakan momen untuk menunjukkan kebolehannya dalah hal berbusana, menari, atau menjalin hubungan dengan lawan jenisnya.

Jadi Serayan merupakan tempat belajar bagi muda-mudi untuk mengenal tugas, tanggung jawab, kebersamaan bergotong royong dalam suatu kegiatan peradatan masyarakat Karo. Serayan sebagai salah satu warisan leluhur sampai saat ini masih dilaksanakan kaum muda-mudi Karo dan dijadikan sebagai sarana praktikum ditengah masyarakat disamping mereka mengikuti pelajaran di sekolah formal.

Sumber: Simaka Edisi VI Juni-Juli 2008
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment